by: Rudi Santoso, S.Sos., M.M.



Beberapa waktu lalu saya penasaran dengan penjual Tahu Petis Khas Jombang. Nothing  special, hanya tahu yang digoreng kering, ditabur garam. That’s all. So, apa yang istimewa? Kenapa antrian bisa begitu panjang. Bahkan sekali beli bisa nunggu minimal 30 menit. Saya mencoba untuk mencari tahu dan berdiri di jalur antrian. Rerata orang membeli Rp10ribu rupiah. Let say dalam satu jalur antrian ada 10 orang maka omset Rp100ribu, dalam semalam minimal omset Rp3juta. Saya mengamati proses bisnisnya, tidak ada yang istimewa. Apa yang membuat orang mengantri begitu panjang? Rasa tahu petisnya? No, karena ia tidak lebih enak dari gorengan tetangga saya. Kenapa orang rela menunggu minimal 15 sampe 30 menit hanya untuk 20biji tahu goreng seharga Rp10 ribu?

Jawabannya ada di proses bisnisnya. Wajan yang digunakan tidak lebih besar dari orang penjual gorengan pada umumnya. Kapasitas sekali goreng hanya mampu memenuhi 3 orang dengan pembelian Rp10ribu. Ada upaya “pembiaran’ pelanggan mengantri pada batas tertentu. Pemilik juga tidak mengubah kapasitas penggorengan dengan diameter wajan lebih besar. Padahal jika diubah kapasitasnya, pelanggan tidak akan antri begitu lama. Namun kawan, jika lapak tidak ada antrian itu pertanda buruk bagi ‘pebisnis’. Artinya, secara psikologis jualannya ‘sepi’ karena tidak ada jalur antrian. 

Inilah pinternya penjual memainkan psikologi pelanggan. Pelanggan akan berpikir, rasa tahu petis ini pasti enak, karena orang rela antri untuk mendapatkan produknya. Padahal yang terjadi adalah hanya masalah kapasitas produksi yang dimainkan untuk membuat antrian. 

Kawan, kenapa setiap kali apple meluncurkan produk smartphone barunya orang rela antri panjang? Ini bukan lagi soal value produk, brand equity, atau brand loyalty. Ini persoalan memainkan psikologi pelanggan. Dan produsen tahu betul bagaimana bermain pada circle itu. Apa yang terjadi pada penjual tahu petis dan pelanggannya adalah sebuah sistem yang ‘tanpa sengaja’ tercipta oleh situasi mutual benfit. Dari sisi value proposition, tidak ada yang istimewa dengan produknya. Jangan tanya soal rasa, selain asin tidak ada value lain. Jangan dibayangkan ada inovasi macam ‘Burger Tahu’ milik alumni S1 Manajemen Monica & Reo. Atau jangan bayangkan ada value dari sisi packing macam ‘HAVI Ice Cream’ karya Mayang (S1 Manajemen). Semua itu tidak ada!

Penjual ‘Tahu Petis’ tidak tahu apa itu value proposition, packing, service excellent, dan lain-lain. Tetapi kenapa jualannya antri? Penjual tahu sekali lagi ‘lucky’ dan hanya terjebak pada situasi yang membuat pelanggan ‘terpaksa’ antri. Dia nothing to lose dengan semuanya, hanya modal nekat berjualan meski tidak pernah mempunyai pengetahuan selling & marketing.

Kawan, dalam bisnis pengetahuan itu penting, tetapi kadang jika keberuntungan belum berpihak pada kita, maka sukses bisnis pun belum bisa diharapkan.

Tetap semangat, selalu ambil peluang.